SEjarah Blora - TABLOID INFOKU 44

Sejarah Blora
Asal Usul Nama Blora
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA.
Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
Blora Era Kerajaan di bawah Kadipaten Jipang
Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih di bawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi:
Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi takhta Demak, pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.
Blora di bawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719) daerah Blora diberikan kepada putranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar).
Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
Blora di Zaman Perang Mangkubumi (tahun 1727–1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749), terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta.
Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi raja di Yogyakarta.
Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749.
Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Blora di bawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama 'palihan negari', karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I.
Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya
Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram, Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.
Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.
Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.
Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah (petani).
Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surosentiko.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani antikolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal bersenjata.(Diolah: Agung)
lebih lengkap baca model TABLOID
klik GAMBAR