Lunturkah
Rasa Kepahlawan Elite Pemerintahan
Tanggal
10 Nopember adalah Hari Pahlawan yang
diperingati seluruh bangsa Indonesia. Kita kembali menundukkan kepala sejenak
untuk mengheningkan cipta seraya memohon agar arwah mereka diterima di
sisi-Nya. Atas jasa-jasa dan pengorbanan para pahlawan, kita bisa menghirup
alam kemerdekaan yang diidam-idamkan semua orang.
Sudah 67 tahun Indonesia merdeka.
Berarti kita secara formal sudah memperingati Hari Pahlawan 67 kali.
Namun, apakah dengan peringatan
sebanyak itu jiwa kita bisa secara otomatis tertanam semangat kepahlawanan
seperti para pejuang di masa lalu? Tidak dimungkiri, begitu banyak di antara
kita yang belum atau tidak paham dengan arti pahlawan atau kepahlawanan.
Kini saatnya kita benahi semua
kekurangan itu. Memperingati Hari Pahlawan tidak cukup hanya dengan
mengheningkan cipta, yang itu pun sering tidak khidmat.
Begitu pula, memperingati hari
nasional itu jangan hanya dengan mengingat-ingat tokoh seperti Pangeran
Diponegoro, Tjoet Njak Dien, Jenderal Sudirman, Proklamator Soekarno-Hatta, dan
pahlawan revolusi.
Seharusnya tentu lebih dari itu. Di
antara mereka banyak yang wafat tanpa bisa dikenali lagi atau yang kini masih
bisa bertahan hidup dengan anggota tubuh yang tidak lengkap lagi. Lebih miris
lagi, mereka yang kebanyakan dari veteran ini hidup serbakekurangan. Bahkan,
ada pula yang harus terusir dari rumahnya karena menempati tanah negara.
Bila mengingat sejarah Peringatan hari Pahalawan berangkat
dari upaya merebut dari kekuasaan penjajah yang zhalim dari pemerintahan
kolonialisme saat itu. Berkaca kebelakang di perang kemerdekaan Jawa Timur,
setidaknya 6 ribu sampai 16 ribu pejuang Indonesia tewas dan 200 ribu rakyat
sipil mengungsi dari Surabaya.
Saat itu korban pasukan Inggris dan
India kira-kira 600 sampai 2 ribu tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya
yang memakan ribuan korban jiwa menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Namun sekarang ini telah menjadi
pertanyaan, apakah sikap perjuangan yang ditunjukan oleh elite penyelenggara
pemerintahan sama dengan apa yang dilakukan ketika orang pejuang dahulu,
mempertahankan kedaulatan dan memerdekakan rakyat dari negara imperlialisme.
Sekarang ini kadar kepahlawanan
elite penyelenggara negara sudah luntur. Diberikan mandat masyarakat tapi tidak
dapat dipercaya.
Semisal, pejabat elite penyelenggara
pemerintahan yang tersandung dengan masalah hukum dugaan korupsi dan ada pula
penempatan jabatan tidak sesuai dengan profesionalitas dan integritas.
Rasa kebangsaan yang mementingkan
kepentingan publik luas tidak ditunjukan, semua beradegan mementingkan pribadi
dan golongan saja.
Melihat kondisi ini, tentu
masyarakat pun akhirnya pesimis, sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Rasa
kebangsaan pun ikut meluntur karena tidak ada panutan. Seolah kehidupan
berbangsa dan negara itu, hanyalah sandiwara belaka.
Pemerintahan sebagai bagian bentuk
negara dianggap sebagai alat penindas dari para penguasa kepada masyarakat yang
lemah.
Kunci sebenarnya adalah saat ini,
bagaimana para penyelenggara negara terutama elite politik, memperhatikan upaya
peningkatan kepentingan publik.
Berlomba-lombalah menunjukan rasa
kepahlawanan maka rakyat akan bersimpati, mencontohnya demi kemajuan bersama.
Apabila masih dibiarkan sikap
meminggirkan kepentingan publik maka berdampak buruk pada kokohnya pondasi
bangunan nasionalisme negeri ini.
Rakyat akan melupakan eksistensi
Republik ini. Merasa putus asa dan malu jadi warga negara Indonesia, hilang
rasa kecintaan kepada bangsa dan negara ini.
Lagi pula bila berbuat baik tidak
ada ruginya. Meminjam pesan dari presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno,
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat
suatu kebaikan,maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia
dengan kemajuan selangkah pun.”
Kita tentu tidak ingin hal yang
buruk itu berlanjut. Sudah saatnya negara lebih berpihak dan memperhatikan
mereka. Kita sebagai generasi baru patut berterima kasih atas perjuangan mereka
yang tanpa pamrih. Jiwa kepahlawanan mereka sudah sepantasnya memberi inspirasi
dalam mengisi kemerdekaan ini. Bukannya malah semakin memudar tergilas oleh
zaman.
Benar, bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Bagaimanapun, perjuangan
mereka yang tak kenal lelah diiringi air mata dan darah, terbukti telah mampu
mengusir kebengisan penjajah Belanda yang berkuasa selama 350 tahun dan Jepang
selama 3,5 tahun.
Kini, zaman telah berganti,
kepahlawanan tidak diukur hanya dengan senjata atau bambu runcing, bukan lagi
mengusir penjajah bangsa asing. Akan tetapi, mengusir kebodohan, kemalasan,
kemiskinan, dan ketidakmampuan di segala bidang.
Kita juga harus sepakat bahwa
pahlawan akan terus lahir sesuai zamannya. Untuk saat ini, yang sangat
dibutuhkan adalah orang-orang tidak korup dan tentu tidak berbuat korupsi. Kita
jugalah yang akan membawa bangsa Indonesia lepas dari keterpurukan. Kita harus
memiliki jiwa ksatria, berkorban, dan tanpa pamrih untuk membangun bangsa yang
terhormat dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia ini.(Penulis: Drs Ec Agung
Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU- diolah dariberbagai sumber)
Lebih lengkap baca model tabloid
klik gambar
0 Comments
Post a Comment